Peluru buram itu terus menghantam keningku yang di banjiri keringat dingin , tak pernah terbisik dalam kawah jiwaku menyaksikan sang baju loreng menondong pisol canggihnya kearahku, jantung berkejaran dengan hati seolah-olah bercucuran dan membasahi seluruh tubuhku
“heh anak lembu, dimana manusia harimau itu?”
Suara tak sedap itu keluar dari manusia botak yang memakai baju loraeng
Nggak. . .tau. . . sa….ya… pak!”
Tak terasa cairan panas membasahi rokku.
Dasar lho setan , manusia harimau saja tak tau,lembu macam mana lho?”
Suara petir itu terus menghantam gendang telingaku
“dasar lho dinasaurus!” desahku
Bajingan… masih berani menentang, rasakan ini.
Dhum . . .dadaku berkencang dan dadaku meledak.
“a . . .a . . .a …!”
Adek…dek….bangun…sudah pagi!”
Kulihat sekelilingku semuanya telah berubah. Tak ada lagi si baju loreng yang sedari tadi menghantuiku. Kini yang terlihat adalah abangku yang tengah menyibak tirai kamarku yang menghambat sinar tata surya itu masuk ke kamarku. Kuusap mataku berkali-kali.
“masihkah bermimpikah aku?” bisikku dalam hati.
Aku terjaga, dengan peluh berbutir-butir membanjiri pori-poriku untuk yang entah keberapa kali mimpi itu mennyinggahi dunia mayaku. Mengabarkan sinyal bahwa,
“MANUSIA BERBAJU LORENG” sang pembunuh.
“tidak. . .!” aku berteriak, mencoba memaknai bunga tidur yang berulang-ulang menitip pesan, tapi mungkinkah manusia berbaju loreng adalah keangkuhan bagi kejahatan ataukah manusia berbaju loreng adalah langkah-langkah gagah yang memperjuangkan bumi yang dinamakan pahlawan?” atau manusia loreng adalah moster di film power rangers?” aneh!” sungguh misteri mimpi yang terus mencekam ketentramanku.
***
Kubuka pelan jendela kamarku, sela mendengar kicauan burung dara yang marimba haru, dan terlihat air mengembun di pucuk delima.
“dhak . . . dhuk . . .
Aku tersentak, kulihat segerombolan orang berbaju lorong memasuki kebun yang ada disamping rumahku.
Ya. . . aku tinggal di Desa Adan Baroh yang terletak di lereng pergunungan di kabupaten pidie jaya.
“bang!” lihatlah!”
Siapa sekelompok orang yang berjalan menuju kedalam kebun?” tanyaku penasaran pada bang zaki yang sibuk mangamati schedule yang tertempel di dinding.
“astagfirullah hal azim”, itu kan tentara . sahutnya.
Dan tak terasa tubuhnya bergetar hingga buku-buku yang tadinya ia pegang erat, pelahan-lahan jatuh satu persatu.
“mak!” . . .tentara datang, ujar bang zaki sambil berlari menuju ke dapur.
Mak tersentak dibuatnya, hingga telur yang dipegang jatuh berceceran.
Ibu kelihatan sangat ketakutan .
Kucoba mengintip lewat cela-celah kecil jendela, tapi mak melarangku, ku beranikan diri untuk keluar dan memarahi tentara yang asyik menembak tumbuh-tumbuhan itu, tapi tiba-tiba keberanianku redup begitu saja. Ketika aku mendengar suara senjata AK 47.
“TIARAP. . . !” teriak bang zaki.
Teasa jantungku menerawang di langit-langit rumah dan berloncatan mengejar darah yang mendahului bilik dan serambi kanan jantung.
Sekarang aku berada di bawah kolom meja makan, sedangkan mak dan bang zaki sembunyi di belakang pintu kamar belakang.
Aku mandamar penyebab di hempaskan bunyi termbakan itu walaupun keberanianku hanya sisa secuil electron, aku melawan ketakutan. Dan mulai merajut keberanian, ah. . .aku gak boleh takut pada manusa berbaju loreng itu dan senjata angkuhnya. Toh Allah maha kuat dan maha melindungi hamba-hamba-Nya. Allah bisa mengalahkan kesombongan siluman dinasaurus itu.
Akhirnya, kubangkit dari keterpurukan dan melangkah pelan-pelan menuju jendela.
***
“Hei…kejar!”
Suara itu terdengar darisalah satu anggota berbaju loreng ,
“jangan biarkan manusia monyet itu lolos dari incaran kita!”
Suara keras kenbali mencincang telingaku, ingin aku membungkam jerit dan mencegah kejaran mereka, tapi, apa dayaku, mulutku terkunci karena kekhawatiran , aku hanya bisa berdoa, agar mereka mendapat hidayah atas perbuatan mereka
“dhum. . . dhum. . .dhum. . .!”
Suara itu terdengar keras di sela perpohonan. Aku tak tau untuk siapa todongan itu ditujukan, aku hanya menjadi penonton setia dibalik pentas misteri.
“dek na. . .tiarap!”
Ujar bang zaki sedari merangkul tubuh mungilku. Tak kusadari cucuran keringat dingin menyapa akasia ketakutanku. Suara teror itu terus menghantui ketentramanku. Tak sempat terhitung olehku, berapa kaili mereka melepaskan teror senjatanya
“mak. . .gubuk di kebun sebelah udah hancur ditembak om tentara” , aku mulai membuka suara sila mengintip melalui celah-celah batu bata dinding.
“astagfirullah nak. . ., jangan ngintip-ngintip, nanti om-om itu menembak rumah kita!” kata mak sedari mengelus dadanya.
Makku memang lemah lemah jantung, tiap kali ledakan senjata jantungnya kambuh.
Walau di tengah cengkraman perang, aku harus berdoa supaya mak baik-baik saja.
***
Hatiku membungkam jerit seolah-olah langiy akan runtuh dan membajiri bumi berdarah ini.
Kata-kata bualan terus menyedot telingaku, aku tetap bersikeras menyaksikan manusia dinasaurus yang sedang berteriak lantang sambil menikam dua tubuh laki-laki malang itu.
“mati kau siluman harimau. Telah lama ingin kucincang kulit perkasamu!” , ujar si hitam pekat sambil menondong senjatanya ke dahi lelaki itu.dan Terlihat rona ketakutan pada wajahnya yang sudah mulai keriput.
Aku menangis sedari memanggil mak.
Makpun merangkulku sela mengintip apa yang terjadi di luar sana.
“nyak . . . soe yang di poh leu awak tentra?”.
Tanya mak pada bang zaki dengan nada serak.
“hana loen tusoe mak, jawab bang zaki.
Sekarang kami hanya menyaksikan performance manusia berbaju loreng yang sesuka hati menyiksa dua lelaki itu.
Dari kejauhan aku melihat jemari kakinya diiris dengan silet, lehernya digorok, layak seorang tukang kayu mensinsau perpohonan, sedangkan seorang laki-laki yang berada disampingnya, di sepak kemaluannya dan ditinju perutnya hingga keluar air dari mulutnya, lirih tangisnya mengguncang dedaunan.
Huft. . .apa daya mereka?”.
Pagi itu, tak ada satu orangpun menyaksikan kekerasa yang mereka buat, jagat raya menjadi saksi atas kejahilan manusia tak beradab itu, warna darah yang mengalir adalah saksi atas semuanya, malaikat mulai mencatat kenistaan yang mereka lakoni, bumipun meraung, tak sanggup perutnya memapah mayat yang mati berdarah.
Terlihat olehku, elang mengitari perbuatan angkuh mereka , seketika elang itu terbang jauh, tak hirau bumi semakin rusuh, rerumputan tak kuat lagi menggoyang jeritannya, tubuhnya terbanjiri dengan tumpahan darah yang tak henti-henti, langit meredup gelap. Cahaya buram kembali menyelimutinya.
Terdengar ibu bershalawat dan mengucapkan istigfar serta tahlil .
***
Gerombolan tentara itu pergi meninggalkan mayat yang tersayat kesakitan, tak ada satupun berkas yang merek tinggalkan, mereka melangkah tertatih menyusuri perdesaan dan memburu maut.
“huft. .mereka sungguh kejam, kelekuannya persis seperti gajah yang seenaknya menendang gubukk reot dan menginjak tanaman.
“ya Allah. . .dimana hati nurani mereka?”.
Mereka rela merenggut nyawa dan kebahagiaan manusia,
“apakah mereka pantas di katakan MANUSIA?”.gumanku dalam hati sambil memandang dua mayat yang tak berdaya itu.
***
pagi yang tidak bersemangat, tak biasanya keadaan mencekam seperti itu.
Orang kampong berlarian dari rumahnya menuju tempat kejadian itu. Mereka saling bertanya tentang kejadian itu, dengan suasana tegang, penduduk langsung mengangkat mayat yang tergeletak di sawah menuju trotoar jalan. Tak ada satupun orang berani menyalahkan satu sama lain. Mereka hanya pasrah kepada sang penguasa segala latar belakang kehidupan dan pengatur sambungan dari fonemena kehidupan.
Aku mulai memaknai satu persatu celah kejadian. Pada pagi itulah, pertama kalinya aku melihat pembunuhan yang terus menikam pikiran sehatku.
Hari itu aku bolos sekolah, aku adalah seorang siswa SD kelas lV yang masih buta dari kekejaman manusia, awalnya aku mengira manusia berbaju loreng itu adalah pahlawan dunia, padahal itu semua kebohongan belaka , mereka adalah si malaikat maut yang berbaju loreng dan dilaknati Allah.
LOVE YOU DJA
ULLIA
LOVE YOU DJA
ULLIA
l
Tidak ada komentar:
Posting Komentar