Minggu, 06 Maret 2011

Mata untuk Hati… Dan Hati untuk Mata...

Rabb…
Beri aku mata
Di setiap helai hatiku
untuk bisa melihat untaian seulanga yang melingkar
disetiap sela jari juang ku

Rabb …
Beri aku hati disetiap mataku
Untuk bisa ku rasa atas apa yang kulihat
Atas Aceh ku dan fenomena yang seakan terlantar
Dalam setiap rentetannya

Rabb…
Kini hatiku ingin memancar
Mataku ingin  terurai menjadi belahan kecil
Dan menyebar di setiap tanganku
Untuk bisa kegerakkan
Setiap  resolusi babakan zaman

Dan saat itu…..

Beri aku suara yang bergetar disetiap dua tangan ku itu
Agar bisa kunyanyikan lirik dalam ritme ke-Acehanku
Meski tangga nada masih sulit ku tentukan
Meski judul laguku  belum tercipta

Dan Saat itu…

Bantu aku dengan Topan Mu
Bantu aku dengan angin  Mu
Agar aku mampu bersahut sahut
Agar aku mampu memanggil
Jiwa-jiwa Cut Nyak dhien, Pocut Baren atau Saifiatuddin
Jiwa-jiwa Teuku Umar, Syah kuala, atau Panglima Polem
Agar aku mampu menarik mereka kembali
Berkumpul  bersama
Untuk kembali bersiasat
Membuat jejak…
Untuk Aceh ku yang lebih baik..


Oleh:  Ainul mardiah
*wisma kopertais 7 Juli 2009




puisi

Sejenak…
Asrama Putri UIN, 210410
Hari ini sejenak bisa tertawa
Kala terowongan waktu
Terowongan tempat
Tak kuajak bersua

Hari ini sejenak bisa  bermain
Kala kerikil yang mengusik
Berhasil kusingkirkan
Hmm…Bahagia

Dan kucoba
Hari ini sejenak memandang
Dokumentasi  negeri ujung sumatera
Ahh,,,tawa dan senda pecah tak berbentuk
Hanya tinggal uapan
Mengajak otak tuk meninggalkan aksara
Menggunakan cinta dan logika
Pada negeri yang jejak ku didalamnya

Negeri itu mengingatkan kembali
Pada seorang anak
Yang kepalanya pernah kuusap
Mimpinya pernah ku dengar
Tangisnya pernah ku seka
Dan anak itu lagi-lagi
Membuatku tak bisa  hanya menatapnya
Sejenak…

Hari ini sejenak coba menghela nafas
Mengunduh rencana terbaruku
Bagaimana negeri itu
Menjadi sangat indah
Bagiku, anak itu..
Dan negeri itu sendiri.

Oleh: Ainul Mardiah


Cerpen

Meunasah Kampung Ma’e

Oleh : Azmi Abubakar

Saat itu umur Ma’e masih 4 tahun. Untuk kali pertama yahwa Suman membawa Ma’e  kecil ke meunasah melaksanakan shalat maghrib. Tak banyak jama’ah yang datang, hanya beberapa orang-orang tua kampung, selebihnya anak-anak yang berlari kesana-kemari waktu shalat tiba.

Semenjak itu Ma’e mulai berkenalan dengan meunasah. bagi anak-anak seusia Ma’e, meunasah telah menjadi tempat baru untuk bermain, kejar-kejaran atau apalah namanya, terkadang juga menjadi tempat bagi para orang tua melepas penat. 

Jama’ah paling banyak adalah ketika maghrib tiba, kemudian ‘isya disusul jamaah shubuh yang  terdiri dari beberapa orang tua saja. Ketika sore hari perkarangan meunasah yang sedikit luas berubah menjadi arena main bola. Tepat di belakang meunasah mengalir sebuah lueng kecil yang digunakan anak-anak untuk mandi ria.

“Suram masa depan Meunasah nye lagee nyoe, jama’ah hana sagai...”  kata syik Nu, sang imum meunasah suatu kali, sambil menghirup rokok on-nya diatas bale. Tapi Syiek Nu tidak lagi bersusah payah memikirkan tentang bangunan meunasah. Karena tampang meunasah sudah berubah jauh.

Bangunan Meunasah sudah cukup megah bercat putih. meunasah tampak berdiri gagah karena bantuan pemerintah setahun lalu. Tapi sayang seribu sayang, gagahnya meunasah tidak segagah jama’ah yang datang. Ia sepi, hanya ada beberapa orang tua saja yang tak sanggup lagi menggerakkan suara. “si ge treuek ta greuhem eureueng syiek nyan, sang langsung meuninggai geueh…” celutuk Bram (aslinya Ibrahim) seorang preman kampung suatu kali.

Kemana anak muda? Anak-anak muda bangai seperti Ibrahim tadi sibuk dengan ibadah mereka. Tak ada tanda-tanda berubah sama sekali pada meunasah. Karena memang tak ada yang membuat perubahan.

                                                  .....................

Tahun-tahun terus berlalu tanpa bisa dicegah, pertanda bumi semakin tua. Ma’e telah tumbuh dewasa, ia telah menyelesaikan sarjananya di Universitas Unsyiah jurusan tehnik sipil, ia juga telah bekerja pada sebuah NGO bersama orang-orang bulek, rekan kerjanya memanggilnya Mr Ismail, nama yang begitu asing di kampungnya dulu. Asing karena belasan tahun hidup di kampung tercinta, tak ada satu orangpun memanggil Ma’e dengan Ismail, kecuali almarhumah syik Ramlah dulu, syiek  Ma’e tercinta.

Meunasah Ma’e tetap saja tidak berubah bahkan lebih menyedihkan. “meunasah tak ada lagi imam, imamnya sudah tak kuat karena uzur. Beliau memilih beristirahat, hanya sesekali ke meunasah…”.  Kata anak-anak suatu kali pada Ma’e.

Anak muda? Sekali lagi mereka masih saja beribadah dengan dunianya. Tak peduli meunasah itu, meunasah yang dipertahankan bertahun-tahun lamanya oleh para indatu. Anak-anak masih saja berlari kesana-kemari. Air di lueng meunasah sudah kering, mungkin tak ada lagi berkat yang tersisa. Dulu digunakan untuk berwudhuk tapi entah karena sering digunakan untuk mandi dan buang hajat, maka jadinya seperti itu.

                                                  ....................

“Allahu Akbar…Allahu Akbar…”, anak-anak berhenti bermain, eureueng jak u blang berhenti mencangkul, dan mak-mak di rumah berhenti seumeupeh. Sejenak mendengar kumandang azan merdu dari meunasah, siapa gerangan? Ma’e telah mengambil alih semuanya, menjadi Imum meunasah. Lebih dari itu, ia telah meninggalkan pekerjaannya pada NGO. Demi meunasah, warisan indatu. Demi agama!

Angin terus berhembus dingin, itek-itek plati  terlihat berkumpul kompak. Awan–awan putih berarak rapi, kemudian mengumpal membentuk sketsa. perlahan hujan mulai turun membasahi meunasah dan jama’ah. Waktu ashar telah tiba, teungku  Ma’e masih disana!

Jum’at yang berkah, Cairo 12 Nov ‘10
Pukul 9:44 PM

*Penulis merupakan alumni Dayah Jeumala Amal 2007 sekarang sedang menempuh pendidikan di Al-Azhar university.